Kearifan Lokal Kampung Naga Tasikmalaya



EMPAT JENIS KEARIFAN LOKAL DALAM MASYARAKAT KAMPUNG NAGA TASIKMALAYA


Ahmadi Anjas
NPM 1510631180012
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
FISIP Unsika 2017



PENDAHULUAN
Kampung Naga terletak di Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Luas wilayah Desa Neglasari ± 326 Ha dan terletak pada ketinggian ± 584 m dpl. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut sekitar 26 kilometer. Secara administratif Kampung Naga berbatasan dengan wilayah desa/ kecamatan yang lain yaitu sebagai berikut. Sebelah utara dengan Kecamatan Cigalontang, sebelah timur dengan Desa Karangmukti, sebelah selatan dengan Desa Sundawenang, dan sebelah barat dengan Desa Tanjungsari. Luas wilayah Kampung Naga seluruhnya + 4 ha, 1,5 ha masing-masing digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan lahan pertanian, sisanya hutan. Dilihat dari lokasinya, Kampung Naga merupakan perkampungan yang terletak disebuah lembah perbukitan dengan produktivitas tanah yang sangat subur dan berada dipinggir Sungai Ciwulan yang bersumber dari Gunung Cikuray Kabupaten Garut. Sesuai dengan kondisi geografisnya, Perdesaan dengan iklim tropisini mengandalkan kehidupan agraris. Pola hidup masyarakat adat Kampung Naga sangat erat kaitannya dengan kondisi geografisnya. Hal itu tergambar dari cara masyarakat Kampung Naga mengelola kawasan dengan sangat baik. Kawasan Kampung Naga terbagi ke dalam beberapa kawasan yang memiliki fungsi masing-masing. Perencanaan tata ruang tersusun dengan sangat baik dan memiliki perencanaan yang berprinsip berkelanjutan. Secara umum Kampung Naga terbagi kedalam tiga kawasan pokok sebagai berikut:
1. Kawasan suci, yaitu suatu kawasan yang memiliki makna bahwa wilayah ini tidak boleh dikunjungi sembarangan orang dan harus dijaga kelestariannya.
2. Kawasan bersih, merupakan wilayah yang terdiri dari rumah-rumah warga dan bangunan lainnya yang berada di pemukiman masyarakat Kampung Naga
3. Kawasan Kotor, merupakan wilayah yang berada di daerah lembah dan berada di luar daerah bersih bersebelahan dengan sungai Ciwulan. Kawasan ini berfungsi untuk aktivitas seperti kamar mandi, kandang ternak dan lainnya.


Beberapa hal/aspek sosial yang masih sustainable/continue diantaranya:
1. Teraturnya kawasan (arsitektur) dan jumlah bangunan.
2. Tanggungjawab sosial yang tinggi dan ikatan sosial antar warga yang sangat erat.
3. Dihayatinya warga “Sanaga” sebagai saudara sepenanggungan, kondisi saling membutuhkan dan bekerjasama antar warga.
4. Jumlah dan aturan upacara adat yang berasal dari kompromi aturan agama Islam dan aturan adat.
5. Dihormatinya lelulur, terutama Eyang Singaparana
6. Sustainability banyak dipengaruhi atau disebabkan aturan adat yang walaupun cukup kompromis namun ketat dilaksanakan.  Beberapa aturan adat ini sangat khas dan unik sehingga membentuk karakter orang-orang di dalamnya. Kekhasan karakter ini akan membuat mereka agak sulit beradaptasi bila hidup di luar daerah dan merasa paling nyaman tinggal di dalam kampung.
7. Kondisi geografis dan topografi yang terjaga kelestarian lingkungannya



SEJARAH KAMPUNG NAGA
Terdapat banyak versi terkait asal muasal masyarakat Kampung naga. berdasar- kan wawancara dengan punduh (28 Februari 2013), ini dikarenakan, bukti tertulis yang ko- non ditulis di atas daun lontar sudah terbakar habis ketika peristiwa 1956, yaitu peristiwa dibakarnya Kampung naga oleh gerombolan DI Kartosuwiryo. Kampung naga kemudian dibangun kembali dengan tetap menerapkan ketentuan dan bentuk pemukiman seperti sebelumnya. Kesulitan untuk melacak asal usul penduduk Kampung naga juga karena tidak adanya kebiasaan membicarakan asal usul nenek moyang kepada orang umum (masyarakat biasa). Versi pertama, Seuwu putu naga (sebutan untuk penduduk Kam- pung naga), berasal dari mataram. 

Konon ceritanya pada tahun 1630 ketika Sultan Agung menyerang batavia, sekelompok pa- sukan mataram di bawah pimpinan Singa- parna mengalami kekalahan. pasukan terse- but tidak kembali ke mataram dan tidak pula menyerahkan diri pada VoC, melainkan bersembunyi di sebuah hutan perbukitan di dekat sungai Ciwulan. untuk menutupi iden- titasnya, mereka mengubah nama dan dialek mereka dengan Sunda. Sejak itu, penduduk tidak diperbolehkan menyebut nama Singa- parna dan menyebut kampung mereka de ngan Kampung naga (haditomo, 1989:31). 

Versi kedua, eyang Singaparna yang merupakan karuhun (nenek moyang) mereka berasal dari Timur -dipercayai dari Mataram yang ditugaskan menyebarkan agama islam di tanah Pasundan. Dalam perjalanan, ia sampai di suatu daerah yang merupakan daerah cekungan, di tempat itu ia mendirikan sebuah bangunan sebagai tempat tinggalnya, hingga kini dikenal dengan bumi ageung, yang menjadi bangunan pertama masyarakat Kampung naga (budi Sulistiono, 1997:11). 

Versi ketiga, penduduk asli Kampung naga berasal dari lereng gunung Galunggung, orang Sunda asli, berasal dari keturunan Si ngaparna. Singaparna adalah nama ulama sakti, putra prabu Rajadipuntang yang merupakan Raja Galunggung terakhir. prabu Raja dipuntang diserang oleh prabu Surawisesa dari Kerajaan Sunda, karena tidak lagi memeluk agama hindu dan beralih pada agama Islam, peristiwa ini berlangsung pada abad ke- 16 masehi. menghadapi serangan tersebut, prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusakanya dan menyerahkannya pada Singaparna, serta memintanya untuk menyelamatkan diri (etty Saringendyanti, 2008:12). 

Berdasarkan berbagai versi tersebut, peneliti mengambil beberapa kesimpulan. pertama, adanya sosok eyang Singaparna yang dipercayai sebagai karuhun (nenek moyang) atau primus interpares masyarakat Kampung naga, hingga saat ini terdapat se- buah makam yang dipercayai adalah makan Singaparna, dan selalu diikutsertakan dalam berbagai kegiatan upacara. Kedua, Islam telah menjadi agama masyarakat Kampung naga antara abad 16 hingga 17 masehi. Ke- tiga, masyarakat Kampung naga berasal dari suku Sunda, karena merupakan keturunan kerajaan Galunggung, kemudian terjadi per- temuan budaya dengan Ja



EMPAT JENIS KEARIFAN LOKALKAMPUNG NAGA
1.    Tata Kelola
Pemimpin Formal adalah Kepala Desa, RT, dan RW. pengelolaan secara adat dikendalikan oleh kuncen, yang merupakan pemimpin adat dan bertugas memimpin kehidupan sehari- hari masyarakat. Kuncen dibantu oleh lebe dan punduh. Lebe bertugas sebagai pelaksana teknik upacara perkawinan, kematian, dan membantu tugas kuncen jika berhalangan. Punduh juga bertindak sebagai pemban-tu kuncen dalam urusan hubungan dengan masyarakat luar, termasuk tugasnya adalah hubungan dengan pemerintah dan meneri- ma tamu dari luar Kampung. pemilihan kun- cen menggunakan sistem ascribed status. pemerintahan formal yang ada dalam masyarakat Kampung naga adalah kepala desa, kepala kampung (Kuwu), RW, dan RT. Kepala pemerintahan diangkat sesuai prose- dur peraturan pemerintah. Dualisme kepe- mimpinan yang ada dalam masyarakat Kam- pung Naga tidak lantas memunculkan konflik peran, karena adanya sikap saling pengertian tentang tugas dan wewenangnya. peran Kuncen di masyarakat Kampung naga sebagai penjaga tradisi masih dijaga hingga saat ini.


2.    Sistem Nilai
Masyarakat Kampung Naga menunjukkan adanya pola pewarisan -nilai budaya dan tradisi secara terus-menerus kepada masyarakat, termasuk di dalamnya salah satu aspek nilai budaya, yaitu pewarisan nilai-nilai karakter kepada semua lapisan masyarakat dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Sumber nilai budaya/nilai budi pekerti berasal dari wasiat karuhun/leluhur, yaitu suatu pemahaman dan Sembah Dalem Singaparana sebagai pendiri Kampung Naga yang intinya mengacu pada ajaran Agama Islam
2. Wujud dari wasiat sepuh itu berupa pantangan yang berisi perintah dan larangan, inti nilai pantangan adalah menolak hal-hal yang akan merusak agama dan akhlak masyarakat.
3. Adanya pantangan, larangan, dan perintah yang telah dijalankan dalam kurun waktu yang lama telah melahirkan nilai-nilai budaya dan tradisi dalam masyarakat Kampung Naga.
4. Nilai-nilai budaya dan tradisi tersebut dipelihara dan diwariskan melalui tiga pranatapendidikan, yaitu: masyarakat, keluarga, dan upacara tradisi. Ketiga pranata pendidikan ini saling memperkuat dalam mewariskan nilai-nilai tradisi tersebut.
5. Kuncen merupakan faktor kunci dalam pewarisan nilai-nilai tradisi yang berperan ketua adat, pengayom, teladan, mediator, dan pengontrol terhadap struktur dan proses sosial masyarakat Kampung Naga secara keseluruhan.
6. Semua lingkunganinput, proses, danoutputpewarisan nilai-nilai tradisi secara keseluruhan berada dalam lingkungan kebudayaan dalam struktur masyarakat Kampung Naga yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama
Nilai kearifan lokal lainnya yang terdapat di Kampung Naga adalah terdapatnya sejumlah pantangan (tabu) yang terbagi kedalam tiga jenis tabu yaitu:
1) Tabu Ucapan,
2) Tabu Perbuatan, dan
3) Tabu Benda.

Nilai-nilai tabu bagi masyarakat Kampung Naga adalah merupakan amanat yang diwariskan oleh karuhun mereka yaitu Sembah Dalem Singaparna yang harus ditaati dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan agar senantiasa mendapatkan keselamatan dan ketenangan jiwa dalam hidup bermasyarakat. Tabu dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga merupakan papagon hirup (pegangan hidup) dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai tabu bagi masyarakat Kampung Naga pada dasarnya suatu benteng untuk melindungi diri dari kemungkinan gangguan-gangguan yang ditimbulkan oleh berkembangnya nilai modernisasi. Selain tabu, pada masyarakat Kampung Naga terdapat hukum adat, yaitu merupakan ketentuan adat yang berupa hukuman atau sanksi bagi anggota masyarakat Kampung Naga yang melanggar terhadap adat. Sanksi bagi masyarakat Kampung Naga tertuang dalam ungkapan  bahwa:

 “Bandung Parakan Muncang Mandala Cijulang, ana saseda satapa baeu tunggal sapuputu, kulit kasaban ruyung keureut piceun bisi nyeri” artinya “Bagi anggota masyarakat Kampung Naga yang ada di Bandung, Parakan Muncang, Mandala, Cijulang, selagi menjunjung tinggi adat Kampung Naga, masyarakat Kampung Naga masih mengakui, tetapi walaupun warga Kampung Naga, apabila melanggar aturan adat, orang Kampung Naga tidak akan mengakui lagi orang tersebut dan membuangnya jauh-jauh.”
Hukum adat dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga terbagi dalam tiga hukum adat yaitu :
1) Pamali (matak kabadi), yang artinya bahwa sesuatu yang ditabukan tidak boleh dilanggar, karena apabila dilanggar akan menimbulkan malapetaka bagi si pelanggar tersebut dan seluruh masyarakat Kampung Naga.
2) Teu hade (matak paeh), yang artinya bahwa sesuatu yang ditabukan tidak boleh dilanggar, karena apabila dilanggar akan menimbulkan kematian pada diri si pelanggar. Arti kematian disini mengandung arti yang sangat luas, yaitu mati hati, mati perasaan, mati akal atau pikiran, yang menyebabkan si pelanggar tidak akan berguna lagi hidupnya.
3) Cadu (matak tumpur), yang artinya bahwa sesuatu yang ditabukan tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar akan mengakibatkan hancurnya kehidupan si pelanggar termasuk keluarganya. Berdasarkandata hasilwawancara dengan Kuncen, bahwa sampai saat ini belum pernah terjadi pelanggaran adat yang dilakukan oleh anggota masyarakat Kampung Naga. Seluruh anggota masyarakat Kampung Naga sangat mentaati dan patuh dalam melakukan adat istiadat, mereka hidup tentram, damai, dan penuh dengan sikap kekeluargaan, serta kesederhaan.


3.    Tata Cara/Prosedur
Terdapat tiga tata cara hidup masyara- kat Kampung naga, yaitu terkait dengan tata wilayah (penataan lahan), tata wayah (penga turan waktu), dan tata lampah (penataan perilaku), dalam konsep masyarakat Sunda, analogi konsep tata cara adalah pamali, arti- nya adalah tidak ada argumen jelas, karena sifatnya adalah turun temurun:
 a) Tata wilayah, mengatur sistem pemuki- man dalam tiga kawasan, yaitu kawasan suci bukit kecil di sebelah barat pemuki- man disebut dengan bukit naga dan hu- tan lindung (leuweung larangan) yang terletak di sebelah timur dan barat sun- gai Ciwulan; kawasan bersih, yaitu ka- wasan yang terletak di dalam pagar keli ling, dan terhindar dari kotoran hewan ternah, di kawasan ini didirikan rumah, bale ageung, bale patemon, dan masjid; kawasan kotor, yaitu kawasan yang be- rada di luar pagar, terdapat empang (ko lam ikan), kandang kambing, dan tempat mCK.
b) Tata wayah, diantaranya dilakukan dalam pengaturan sistem tanam padi, yang dise- but dengan Janli, akronim dari Januari-Juli.
c) Tata lampah, diantaranya adalah lara ngan sombong, larangan saling berteng- kar, tidak boleh selonjoran menghadap ke barat, larangan berbicara sejarah dan asal usul Kampung naga.


4.    Kawasan Sensitif/Suci
Secara morfologi wilayah Kampung Naga berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah: di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan yang dikeramatkan (karena di dalamnya terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga). Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan disebelah utara dan timur dibatasioleh sungai Ciwulan. Hal itu dapat dilihat dengan adanya keunikan pada karakteristik dan identitas lokal yang diperlihatkan oleh masyarakat Kampung Naga yang berbeda dengan lokasi di sekitarnya. Penduduk Kampung Naga membagi wilayahnya menjadi tiga, yaitu
1. Leuweung Keramat(makam nenek moyang) di sebelah barat,
2. Perkampungan di tengah-tengah, dan
3. Leuweung Larangan(tempat para dedemit) di sebelah timur
Masyarakat Kampung naga memiliki empat tempat yang dianggap keramat, yaitu kawasan larangan, yaitu hutan yang terletak di seberang sungai Ciwulan, dan bukit yang terletak di Barat pemukiman; Bumi Ageung; Bumi Pasolatan, dan Tempat menumbuk Padi.


KESIMPULAN
Masyarakat Adat Kampung naga yang mendiami Kabupaten Tasikmalaya, meru- pakan salah satu masyarakat yang memiliki kearifan lokal yang muncul dalam aktivitas dan tradisinya. Kearifan lokal tersebut melalui tata kelola, sistem ni-lai adat, tata cara atau prosedur (adat), dan ketentuan khusus dalam masyarakat dalam hal ini terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan. nilai-nilai yang muncul dalam kearifan lokal masyarakat Kampung naga adalah mencintai lingkungan, gotong royong, kebersamaan, kesederhanaan dan kesetaraan, interaksi sosial, kreatif, kemandirian, tanggung jawab, dan berprinsip.

 

DAFTAR PUSTAKA
Hendriawan, N. (2016). KAJIAN NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAMPUNG NAGA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS MITIGASI BENCANA. Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016, 472-486.
Mutakin, A. (2004). Masyarakat Kampung Naga. Tasikmalaya: CV. Gajah Poleng.
Qodariah, L. (2013). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga sebagai Alternatif Sumber Belajar . Socio Vol. 10 No. 1, 10-20.
Sarigendyati, E. (2008). Kampung Naga, Tasikmalaya dalam Mitologi: Upaya Memaknai Warisan Budaya Sunda. Bandung: FIB Unpad.



LAMPIRAN 
Foto-foto Kampung Naga


Tags:
Kampung Naga, Kearifan Lokal, Tasikmalaya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lirik Mars Imigrasi

  MARS IMIGRASI Kami Imigrasi Indonesia Siap Melaksanakan Tugas Pengamanan Negara dan Penegakan Hukum Berbakti pada Masyarakat Berwibaw...