ANALISIS EMPAT
JENIS KEARIFAN LOKAL DALAM MASYARAKAT ADAT KAMPUNG URUG BOGOR
Ahmadi Anjas[1]
NPM
1510631180012
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
FISIP Unsika 2017
Abstrak
FISIP Unsika 2017
Abstrak
Kampung
Adat Urug yang berlokasi di Kabupaten Bogor mewakili suatu masyarakat yang maju
karena memegang tegah nilai-nilai dan kearifan lokal mereka. Mayoritas penduduk
kampung ini menjadikan bercocok tanam sebagai mata pencaharian mereka. Dengan
luas lahan pertanian mencapai 50.000m2 dan sistem cocok tanam sekali setahun mereka
mampu swasembada pangan. Sehingga akan sangat menarik mempelajari 4 Jenis
Kearifan Lokal (Tata Kelola, Sistem Nilai, Tata Cara/Prosedur, dan Kawasan
Sensitif/Suci) dalam Masyarakat Kampung Adat Urug, Agar dapat diketahui
bagaimana mereka mampu bertahan ditengah perubahan sosial yang dinamis dan
mampu swasembada pangan serta mampu menjadi masyarakat sejahtera melalui
penerapan dan pelestarian kearifan lokal.
Kata Kunci: Kampung Adat
Urug, 4 Jenis Kearifan Lokal, Masyarakat Sejahtera.
PENDAHULUAN
Perkembangan zaman yang pesat dan
masuknya era globalisasi memicu pudarnya nilai-nilai budaya dan menimbulkan
kerusakan lingkungan akibat industrialisasi. Ajip Rosidi menyebutkan bahwa
seiring dengan perubahan zaman akan terjadi pergeseran atau pengikisan adat
istiadat dan tradisisi[2].
Akan tetapi pada kenyataannya bahwa masih ada masyarakat-masyarakat adat yang
memegang teguh tradisinya dan berhasil maju karena mampu mengelola lingkungan
dengan baik melalui penerapan dan pelestarian kearifan lokal. Contohnya pada
komunitas masyarakat Sunda Bogor khususnya Kampung Urug.
Secara
administratif, kampung Adat Urug masuk dalam wilayah pemerintahan Desa Urug Kecamatan
Sukajaya Kabupaten Bogor. Jarak tempuh Kampung Adat Urug dari Ibukota provinsi
Jawa Barat sekitar 165 Km ke arah Barat, sementara dari Ibukota Kabupaten Bogor
kurang lebih 48 Km. Jika dari kecamatan Sukajaya, hanya berjarak 6 Km, sedangkan
dari kantor Desa Urug lebih dekat lagi, hanya 1,2 Km18. Kampung Adat Urug yang berada di wilayah desa
Urug ini dalam bahasa setempat sering disebut Lembur Urug (Kampung Urug),
terletak pada kordinat 6° 34' 42" Lintang Selatan, dan 106° 29' 28"
Bujur Timur, 19 dengan luas wilayah 10 Ha.
KAJIAN PUSTAKA
Menurut Keraf (Suhartini, 2009: 207)
kearifan lokal adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun lokal ini
dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan
diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia dan alam.
Rahyono menyatakan bahwa kearifan dapat
menjadi sarana pembelajaran bagi setiap manusia untuk menjadi orang yang
cerdas, pandai, dan bijaksana. Segala hal yang tidak membuat manusia menjadi
cendikia dan bijaksana berarti bukanlah sesuatu yang arif
atau sesuatu yang mengandung kearifan. (Rahyono, 2009: 3-4)
Jenis-jenis kearifan lokal meliputi tata
kelola, nilai-nilai adat, serta tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan
ruang (tanah ulayat).
- . Tata Kelola, Di setiap daerah pada umumnya terdapat suatu sistem kemasyarakatan yang mengatur tentang struktur sosial dan keterkaitan antara kelompok komunitas yang ada.
- Sistem Nilai, Sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar atau salah.
- Tata Cara atau Prosedur, Beberapa aturan adat di daerah memiliki ketentuan mengenai waktu yang tepat untuk bercocok tanam serta sistem penanggalan tradisional yang dapat memperkirakan kesesuaian musim untuk berbagai kegiatan pertanian.
- Ketentuan khusus dalam rangka pelestarian kawasan sensitif, bangunan suci, dan lingkungan. Seperti hutan dan lubuk larangan dan sebagainya.
METODE KAJIAN
Kajian menggunakan Studi Pustaka yakni melalui
penelitian dan menelaah literatur-literatur yang relevan dengan pembahasan
mengenai Kampung Adat Urug. Literatur tersebut berupa Buku dan Jurnal.
SEJARAH KAMPUNG URUG
Kampung Urug didirikan oleh para inohong (Ahli/tokoh) yang diutus Prabu
Siliwangi untuk mencari daerah yang subur sebagai lahan pertanian untuk
memenuhi kebutuhan pangan Padjajaran. Para Ahli tersebut berangkat dari pusat
kerajaan Pakuan dan menjelajahi Panyaungan, Parung Sapi, dan menelusuri Sungai
Cidurian hingga menemukan lahan yang cocok yang sekarang menjadi kampung Urug
kemudian dibuatlah batas pada sebuah batu yang disebut Batu Tapak.
Sebelumnya Kampung Urug dinamakan Kampung Guru, Guru dalam terminologi bahasa
Sunda berarti digugu dan ditru, harus bisa menjadi panutan. Dalam konteks ini,
adalah si pendiri kampung (Prabu Siliwangi) yang jauh sebelumnya sudah
menetapkan sebuah lahan untuk perkampungan yang menjadi panutan tersebut. Hanya
di sini terdapat dua perbedaan mengenai maksud dibaliknya kata Guru itu,
pertama sebagai kamuflase (penyamaran) agar perkampungan subur tersebut tidak
diketahui oleh pihak yang tidak diinginkan. Kedua menurut Abah Ukat,tokoh
masyarakat kampung adat urug bahwa nama Guru dibalik menjadi Urug, karena
dikhawatirkan generasi-generasi berikutnya hanya sekedar menyandang makna Guru
tetapi tidak bisa mengamalkan nilai-nilai dibalik kata guru tersebut.
ANALISIS EMPAT JENIS KEARIFAN LOKAL
KAMPUNG URUG
1.
Tata Kelola
Jumlah penduduk Kampung Adat Urug
tercatat 5.125 jiwa dengan penduduk laki-laki berjumlah 2.875 jiwa dan penduduk
perempuannya 2.250 jiwa. Sama seperti masyarakat sunda lainnya, warga Kampung
Adat Urug juga mengenal pemerintahan formal. Ketua Adat di sini hanya pemimpin
adat atau informal. Warga Urug terbagi ke dalam 8 RW dan 24 RT. Sistem
Organisasi Informal atau Adat Masyarakat Kampung Adat Urug terdiri atas Ketua
adat yang berjumlah tiga orang; Urug
Lebak (Bawah) sebagai pusat dipimpin oleh Abah Ukat, Urug Tengah (Tengah) dipimpin
oleh Abah Amat dan Urug Tonggoh
(atas) dipimpin oleh Abah Kayod. Ketiga ketua adat ini mempunyai hubungan
kekerabatan yang dekat, dari hasil pengamatan penulis, pembagian kepemimpinan
ini hanya untuk mempermudah jalannya adat di sana, contoh dalam acara Seren Taun, karena Kampung Adat Urug
yang begitu luas dan warganya yang begitu banyak tidak akan tertampung semua di
satu rumah adat, misalnya pada saat prosesi ngariung(berkumpul),
dan juga tidak hanya warga Urug yang datang pada saat acara adat ini.
Penggunaan nama Lebak, Tengah dan
Tonggoh hanya mengacu pada lokasi rumah ketua adat. jika dilihat dari bentang
alam Kampung Adat Urug yang berada di lembah, rumah adat Lebak yang ditempati
oleh Abah Ukat berada di bawah sebagai pusat di mana rumah warga yang saling
berdekatan “berkiblat” pada rumah adat tersebut. Regenerasi atau pergantian ketua adat di
Kampung Adat Urug khususnya di Urug Lebak sebagai Pancer (Pusat) berdasarkan
wangsit atau amanat yang akan diterima oleh ketua adat yang sedang menjabat,
yang dipercaya berasal dari leluhur mereka untuk menentukan siapa yang akan menjadi
Ketua Adat berikutnya. Para ketua adat ini biasa disebut Abah Kolot, Abah saja atau
kokolot.
2.
Sistem Nilai
a)
Ngaji Diri
Ngaji Diri adalah suatu ajaran dasar
pembinaan moral yang di dalamnya tercermin pula pengertian koreksi diri. Ajaran
tersebut dikembangkan di kalangan warga Kasepuhan sebagai upaya melawan sifat
buruk dalam diri manusia, seperti iri dengki. Selain itu ajaran ini bertujuan
untuk mencapai kondisi yang tertib, selaras, aman dan tentram dalam diri
manusia pada kehidupan sosial di dunia sebagai bekal untuk kehidupan di akherat
nanti. Pada Masyarakat Kampung Adat Urug, ajaran ngaji diri atau tapa manusa tersebut diuraikan lagi sehingga
melahirkan beberapa larangan atau anjuran yang disebut talèk (aturan hidup)
baik untuk pribadinya sendiri maupun untuk hidup bermasyarakat, meliputi:
·
Mipit kudu amit ngala kudu menta
Larangan untuk mengambil yang bukan
haknya ini tergambar dalam ungkapan Mipit
kudu amit, Ngala kudu mènta artinya mengambil atau memetik itu harus
meminta izin kepada yang mempuyainya, dengan kata lain jangan mencuri. Para
ketua Adat di Kampung Urug dan warga umumnya juga mengatakan hal yang sama,
bahkan ada istilah jika kita melewati kebun seseorang, tangan itu harus
dikepalkan sebagai perlambang jangan memetik tanpa minta izin atau istilahnya
adalah Pamali/Larangan.
·
Murah Bacot Murah Congcot
Murah
Bacot, artinya senang
menyapa orang lain dengan ramah dan sopan santun, sedangkan murah congcot, baik hati suka memberi
atau berbagi makanan, congcot atau aseupan adalah alat tradisional untuk
menanak nasi berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman berbahan baku bambu,
terkadang digunakan sebagai alat mengukus. Congcot di sini melambangkan makanan.
Murah bacot murah congcot secara
harfiah adalah sikap ramah tamah yang harus ditunjukkan seorang pribumi kepada
tamu. Murah congcot berarti si pribumi
harus menjamu tamu dengan hidangan yang ada dan menawarkannya karena
dikhawatirkan tamu akan sungkan.
·
Guru Ratu Wong Atuo
Karo
Guru Ratu Wong Atua karo, bermakna wajib
menghormati guru, ratu (pemerintah) dan kedua orang tua, terutama kedua orang
tua. Jadi Orang tua itu merupakan Guru dan sekaligus Ratu, kenapa kedua orang
tua ditulis di belakang, bukan berati kedua orang tua menjadi yang terakhir
dihormat diantara ketiganya, justru harus paling pertama dan utama dihormat,
karena tadi, kedua orang tua itu berperan atau mempunyai fungsi sebagai Guru
dan Ratu sekaligus.
·
Hidup Mandiri
dan Sederhana
Hidup Mandiri dan sederhana disini
maksudnya adalah sesuai kalimat ulah
hareup teuing bisi tijongklok, ulah tukang teuing bisi tijengkang segala
sesuatu (Jangan terlalu depan nanti tersungkur jangan teralalu belakang
nanti terlentang). Artinya hidup
harus jangan berlebihan dan sesuai proporsinya. Misalnya makan hanya sekedar
penghilang lapar, minum sekedar menghilangkan haus dan tidur hanya untuk
menghilangkan kantuk, jangan berlebihan, dan jangan pula kekuarangan asal
berkecukupan.
·
Pengendalian
Alat Tubuh
Salah satu jalur pamali di kampung Adat
Urug yaitu mengendalikan alat tubuh. Alat tubuh atau indera kita jangan sampai
disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak baik. Indra kitapun sudah tau haknya
masing-masing Sekarang misalnya hidung hanya bisa mencium, sukanya wewangian,
telinga hanya bisa mendengar, mata hanya bisa melihat, makan syariatnya hanya
dilakukan oleh mulut, lidah yang merasakan, tapi mata, telinga dan hidung tidak
pernah protes ingin merasakan makanan yang di makan oleh mulut, karena mereka
sadar akan haknya masing-masing. Begitupun manusia harus konsisten dengan
tugasnya masing-masing.
b)
Hukum Yang
Berlaku
Dalam Masyarakat Kampung Adat Urug
berlaku tiga hukum sekaligus, yakni Hukum Kasepuhan/Adat, Hukum Agama Islam,
dan Hukum Formal/Negara. Hukum Negara digunakan berkaitan masalah sosial
seperti proses jual-beli, hukum agama digunakan untuk masalah peribadatan,
sedangkan hukum adat berupa Konsep Ngaji Diri, Budaya Pamali,
dan Sikap Gotong Royong.
3.
Tata Cara/Prosedur
a)
Pemukiman
Pola perkampungan masyarakat di kampung
Urug umumnya berkelompok padat dan tersebar di muara sungai, persimpangan
sungai dan di sepanjang sungai , demikian juga di dataran-dataran yang di
depannya ada jalan raya. Rumah-rumah yang ada dikampung Urug umumnya
berorientasi menghadap ke sungai yang di hubungkan oleh jalan kecil dan
jembatan yang disebut titian. Bentuk rumah panggung masyarakat kampung Urug
merupakan ungkapan bentuk rumah karya manusia yang tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan masyarakat sunda di
Jawa Barat. Rumah panggung kampung Urug memiliki keterkaitan dengan konsepsi
pembudayaan dan sebagai lingkungan, buatan yang merupakan bagian dari sistem
budaya yang mencakup bagian - bagian dari sistem lain, seperti kepribadian dan
sosial.
b)
Pertanian
Masyarakat Kampung Adat Urug mayoritas
sebagai petani dalam mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Tercatat 4.320
orang bekerja sebagai petani, kepemilikan lahan pertanian di Kampung Adat Urug
adalah milik perorangan. Siklus Pertanian di Kampung Urug adalah setahun sekali
atau 6-7 bulan sekali
dilakukan saat Musim Hujan.
Hal ini dikarenakan sistem pertaniannya masih tradisional menggunakan irigasi
dan alat-alat tradisional seperti lesung,
lelempangan, dan ketam sebagai alat tadisional memanen padi
masih digunkan, di daerah Sunda pada umumnya ketam disebut ètèm (ani-ani).
Yang menarik di sini, Semua kegiatan
pertanian mulai dari penanaman hingga panen dilakukan secara serentak dan gotong-royong.
Selain itu warga Kampung Adat Urug tidak menjual hasil pertanian mereka, padi
sebagai bahan pokok pangan itu hanya untuk keperluan sehari-hari tetapi warga
boleh membeli beras dari luar. Hal ini menjadikan hasil panen setahun dapat memenuhi kebutuhan selama dua tahun.
Selain bertani waraga Urug tercatat 1.279 orang sebagai pedagang, dalam hal ini
mereka yang menjadi pedagang eceran Ikan air laut di daerah Leuwiliang.
Sementara lainnya kebanyakkan sebagai penambang emas Liar di Gunung Pongkor,
dan mayoritas adalah anak muda.
Cara pertanian yang masih sederhana dan
alami tanpa pestisida dan juga musim tanam hanya setahun sekali telah turut
melindungi dan melestarikan lingkungan dan mata air. Budaya gotong-royong dalam
pembangunan rumah dan pertanian membuat efisiensi pembiayaan. Cara pengolahan
padi dan beras yang masih alami dengan ditumbuk dan pola hidup sederhana telah
meningkatkan taraf kesehatan masyarakat kampung urug. Persediaan beras yang
selalu terpenuhi ditambah penghasilan dari perdagangan apalagi sekarang
tambahan pendapatan pariwisata telah turut menyumbang kemajuan dan menyejahterakan warga kampung adat Urug.
Uniknya lahan pertanian mencapai dua kali lipat jumlah lahan permukiman.
Tabel Pemanfaatan
Lahan Kampung Urug
|
||
No.
|
Pemanfaatan Wilayah
|
Luas Wilayah (m2)
|
1
|
Hutan Keramat
|
20.000
|
2
|
Kompleks Pemakaman
|
10.000
|
3
|
Lahan Pertanian
|
6.200
|
4
|
Lahan Tanah Darat
|
3.200
|
Tabel Mata Pencaharian Penduduk Kampung Urug |
||
No.
|
Mata Pencaharian
|
Jiwa
|
1.
|
Petani
|
4.320
|
2.
|
Pedagang
|
1.279
|
3.
|
Peternak
|
6
|
Sumber: Monografi Desa Urug 2013
4.
Kawasan Sensitif/Suci dan Bangunan
Kampung
Adat Urug tercatat memiliki beberapa kawasan sensitif/suci dan Bangunan, antara
lain:
a)
Gedong Gede
Gedong
Gede adalah gedung atau
bangunan tempat bermusyawarah dan juga menjadi balai pertemuan warga bila ada
permasalahan menyangkut adat, pertanian, tempat penerimaan tamu, dan penginapan
tamu.
b)
Gedong Paniisan
Berada tepat didepan Gedong Gede, Gedong Paniisan berupa
bangunan panggung dengan satu ruangan sebagai tempat berteduh. Tetapi berteduh
disini bukanlah untuk warga, melainkan gedung ini untuk bersemedi abah kolot.
c)
Gedong Alit
Merupakan bangunan kecil berupa makam leluhur masyarakat kampung
adat urug, makam ini sering diziarahi warga ketika ada acara atau upacara adat
seperti Seren Taun.
d)
Hutan Keramat
UPACARA ADAT
KAMPUNG URUG
1)
Muludan
Upacara pertama memperingati kelahiran
Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Mulud (Rabi’ul Awal) yang biasa disebut Muludan.
Dalam acara ini Ketua Adat bersama warga khusus mengrim do’a untuk Nabi
Muhammad karena Sudah berjasa membawa agama Islam. Biasanya dalam acara
tersebut dihidangkan makanan-makanan khas daerah dan olahan lauk pauk yang akan
dibagikan kepada warga setelah dido’akan.
Alasan diadakannya acara ini menurut Abah Ukat, Nabi Muhammad pada saat
berusia 25 tahun dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, akan diberi Kitab Rasul dan
Tasauf kemudian harus mengajarkan rukun Islam yang lima perkara di Negara
Mekah. Nabi Muhammad patuh, taat dan melaksanakan Kehendak Yang Maha Kuasa,
maka selama mengajarkan rukun Islam di negara Mekah tersebut dan seterusnya,
Nabi Muhammad akan selalu dikirim “bekal” oleh Yang Maha Kuasa, hakekatnya
berupa do’a-do’a dari setiap umat Islam yang melaksanakan acara Muludan
tersebut, karena itulah Abah Ukat bersama warga Kampung Adat Urug
melaksanakannya sebagai wujud bakti kepada Nabi Muhammad.
2)
Seren Taun
Upacara kedua disebut Seren Taun
(Syukuran hasil panen), dilaksanakan
sebagai ungkapan rasa syukur dari para petani di sini yang dipimpin
Ketua Adat. Ungkapan rasa syukur, karena ada istilah mipit kudu amit ngala kudu
mènta (memetik dan mengambil harus minta izin kepada yang punya), rasa syukur
ini ditujukan kepada yang pertama kali telah memberikan bibit pokok dalam
masalah pangan kepada manusia, yaitu Yang Maha Kuasa, karen pada hakekatnya
bumi tempat tumbuh berbagai macam tanaman yang bermanfaat bagi manusia adalah
milik Yang Maha Kuasa, maka ketika akan mengambilnya harus meminta izin kepada
yang punya.
3)
Sedekah Rowah
Upacara yang ketiga disebut Sedekah
Rowah, dilaksanakan pada bulan Rowah (Sya’ban), tanggal 12. Pagi hari
masyarakat membawa ayam minimal satu keluarga satu ekor, disembelih di halaman
rumah adat, setelah selesai dimasak, dibawa lagi ke rumah adat, selamatannya
dilaksanakan ba’da Dhuhur. Acara ini dan do’a yang dikirim sebagai wujud bakti
kepada Nabi Adam Alaihi Salam karena menjadi induk semua umat manusia. Manusia
awalnya di akherat, di dunia itu hanya diumbarakeun (dikembarakan) akan kembali
ke akherat yang dibawa hanya amal perbuatan baik ataupun buruk yang akan
diterima oleh Nu Kagungan (Yang Maha Memiliki). Nabi Adam sebagai induk seluruh
umat manusia awalnya di akherat dahulu, karena suatu hal ia diturunkan ke bumi.
4)
Sedekah Bumi
Upacara yang ke empat dinamakan Sedekah
Bumi, lewat beberapa bulan setelah selesai bulan Rowah (Sya’ban), Puasa
(Ramadhan), Syawal. Acara ini diadakan sebelum menanam padi. Semua warga makan
bersama di halaman rumah adat, tapi tidak hanya sebatas foya-foya saja, yang
dipanjatkan do’anya sebelum makan bersama tersebut, agar semua warga ketika
selama menanam padi mulus rahayu berkah salamet (selamat dan ancar tanpa
kendala). Maknanya, Kita Manusia duduk-berdiri dan hidup di Bumi, semua yang
kita makan berasal dari Bumi, manusia harus bersyukur kepada Yang memiliki
kekuasaan terhadap Bumi.
5)
Seren Pataunan
Upacara yang kelima dan terakhir yang
disebut dengan Seren Pataunan Seren Pataunan dilaksanakan dalam rangka menutup
tahun Hijriah dan menyambut tahun baru Hijriah, dengan harapan semoga yang
dilakukan pada tahun baru itu semuanya semoga diselamatkan dijaga dan diraksa
(dihindarkan dari bahaya). Warga membawa nasi kuning dengan lauk-pauknya
(daging kerbau) setelah dido;akan (selametan) baru dibagikan kembali. keramaiannya
lebih dari Seren Taun, minimal ba’da magrib, sudah ramai, karena bukan abah
yang mengundang tapi masyarakat yang datang sendiri”. Seperti dalam Seren Taun, pada upacara Seren
Pataunan banyak kelompok hiburan seperti Jaipongan, wayang Golek bahkan OrgenTunggal
ingin “manggung” di Kampung Adat Urug, datang sendiri tanpa dibayar. tapi itu
tergantung Abah Ukat, tidak semua kelompok hiburan itu bisa diterima karena
halaman rumah adat sudah dirapihkan dengan semen dan batu jadi tidak diboleh
dibongkar untuk mendirikan panggung hiburan. Masyarakat yang datang dari mana-
mana itu tidak sebatas hanya ingin silaturahmi, ikut syukuran mendapatkan
berkat makanan
KESIMPULAN
Ditengah
derasnya perkembangan zaman dan globalisasi ternyata masih ada masyarakat yang
memegang teguh Kearifan Lokalnya. Masyarakat Adat Kampung Urug telah membuktikan
harmonisasi pengelolaan alam tanpa berlebihan mampu menjaga kelestarian
lingkungan dan disisi lain mampu mebuat mereka swasembada pangan. Bila dilihat
dari 4 jenis Kearifan Lokal dalam masyarakat adat kampung urug maka dapat
terlihat kebudayaan agraris yang kuat dan kepercayaan akan pengelolaan alam
yang baik akan membuat mereka berkah dan rasa syukur mereka ungkapkan melalui
upacara-upacara adat. Selain itu rasa gotong-royong, budaya pamali, dan ngaji
diri membuat masyarakat kampung urug menjadi orang-orang yang berakhlak baik
dan hidup sederhana serta saling mengayomi.
DAFTAR PUSTAKA
Aidmiharja, K. (1992). Kasepuhan Yang Tumbuh
Diatas Luruh: Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisonal Di Kawasan Gunung
Halimun Jawa Barat. Bandung: Tarsito.
Dewantara,
A. (2013). Peran Elit Masyarakat: Studi Kebertahanan Adat Istiadat di Kampung
Adat Urug Bogor . Al-Turāṡ Vol. XIX No. 1, 89-117.
Halimi.
(2013). SKRIPSI KEARIFAN LOKAL DALAM UPAYA KETAHANAN PANGAN DI KAMPUNG
ADAT URUG BOGOR. Jakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah.
Prasetyadi,
B. S. (2005). KEARIFAN ORANG SUNDA DI KAMPUNG URUG YANG TERPENCIL TlNJAUAN
PSIKOLOGI SOSIAL DAN ARSITEKTUR. Proceeding Seminar Nasional PESAT 2005,
220-228.
Rosidi,
A. (1984). Manusia Sunda. Jakarta: Inti Idayu Press.
Rosidi,
A. (2010). Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
LAMPIRAN
Tags:
Kampung Urug, Kearifan Lokal, Bogor
Kampung Urug, Kearifan Lokal, Bogor
[1]
Ahmadi Anjas adalah
mahasiswa Kelas IP 5A Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unsika dimana
tujuan penulisan karya tulis ini untuk
memenuhi Nilai UTS mata kuliah Kearifan Lokal Pemda Tahun Ajaran 2017/2018
dengan dosen pengampu Ibu Kariena Febriantin, S.IP, M.Ipol.
[2] Ajip Rosidi, Manusia Sunda (Jakarta: Inti Idayu Press, 1984) hal. 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar