Kearifan Lokal Kampung Urug Bogor



ANALISIS EMPAT JENIS KEARIFAN LOKAL DALAM MASYARAKAT ADAT KAMPUNG URUG BOGOR


Ahmadi Anjas[1]
NPM 1510631180012
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
FISIP Unsika 2017




Abstrak
Kampung Adat Urug yang berlokasi di Kabupaten Bogor mewakili suatu masyarakat yang maju karena memegang tegah nilai-nilai dan kearifan lokal mereka. Mayoritas penduduk kampung ini menjadikan bercocok tanam sebagai mata pencaharian mereka. Dengan luas lahan pertanian mencapai 50.000m2 dan sistem cocok tanam sekali setahun mereka mampu swasembada pangan. Sehingga akan sangat menarik mempelajari 4 Jenis Kearifan Lokal (Tata Kelola, Sistem Nilai, Tata Cara/Prosedur, dan Kawasan Sensitif/Suci) dalam Masyarakat Kampung Adat Urug, Agar dapat diketahui bagaimana mereka mampu bertahan ditengah perubahan sosial yang dinamis dan mampu swasembada pangan serta mampu menjadi masyarakat sejahtera melalui penerapan dan pelestarian kearifan lokal.
Kata Kunci: Kampung Adat Urug, 4 Jenis Kearifan Lokal, Masyarakat Sejahtera.


PENDAHULUAN
Perkembangan zaman yang pesat dan masuknya era globalisasi memicu pudarnya nilai-nilai budaya dan menimbulkan kerusakan lingkungan akibat industrialisasi. Ajip Rosidi menyebutkan bahwa seiring dengan perubahan zaman akan terjadi pergeseran atau pengikisan adat istiadat dan tradisisi[2]. Akan tetapi pada kenyataannya bahwa masih ada masyarakat-masyarakat adat yang memegang teguh tradisinya dan berhasil maju karena mampu mengelola lingkungan dengan baik melalui penerapan dan pelestarian kearifan lokal. Contohnya pada komunitas masyarakat Sunda Bogor khususnya Kampung Urug.
 Secara administratif, kampung Adat Urug masuk dalam wilayah pemerintahan Desa Urug Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor. Jarak tempuh Kampung Adat Urug dari Ibukota provinsi Jawa Barat sekitar 165 Km ke arah Barat, sementara dari Ibukota Kabupaten Bogor kurang lebih 48 Km. Jika dari kecamatan Sukajaya, hanya berjarak 6 Km, sedangkan dari kantor Desa Urug lebih dekat lagi, hanya 1,2 Km18.  Kampung Adat Urug yang berada di wilayah desa Urug ini dalam bahasa setempat sering disebut Lembur Urug (Kampung Urug), terletak pada kordinat 6° 34' 42" Lintang Selatan, dan 106° 29' 28" Bujur Timur, 19 dengan luas wilayah 10 Ha.


KAJIAN PUSTAKA
Menurut Keraf (Suhartini, 2009: 207) kearifan lokal adalah semua   bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat   kebiasaan atau etika yang menuntun lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan  dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia dan alam.
Rahyono menyatakan bahwa kearifan dapat menjadi sarana pembelajaran bagi setiap manusia untuk menjadi orang yang cerdas, pandai, dan bijaksana. Segala hal yang tidak membuat manusia menjadi cendikia dan bijaksana berarti bukanlah sesuatu yang arif atau sesuatu yang mengandung kearifan. (Rahyono, 2009: 3-4)
Jenis-jenis kearifan lokal meliputi tata kelola, nilai-nilai adat, serta tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat).
  1.  .    Tata Kelola, Di setiap daerah pada umumnya terdapat suatu sistem kemasyarakatan yang mengatur tentang struktur sosial dan keterkaitan antara kelompok komunitas yang ada.
  1. Sistem Nilai, Sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta benar atau salah.
  2. Tata Cara atau Prosedur, Beberapa aturan adat di daerah memiliki ketentuan mengenai waktu yang tepat untuk bercocok tanam serta sistem penanggalan tradisional yang dapat memperkirakan kesesuaian musim untuk berbagai kegiatan pertanian.
  3. Ketentuan khusus dalam rangka pelestarian kawasan sensitif, bangunan suci, dan lingkungan. Seperti hutan dan lubuk larangan dan sebagainya.


METODE KAJIAN
Kajian menggunakan Studi Pustaka yakni melalui penelitian dan menelaah literatur-literatur yang relevan dengan pembahasan mengenai Kampung Adat Urug. Literatur tersebut berupa Buku dan Jurnal.



SEJARAH KAMPUNG URUG
Kampung Urug didirikan oleh para inohong (Ahli/tokoh) yang diutus Prabu Siliwangi untuk mencari daerah yang subur sebagai lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan Padjajaran. Para Ahli tersebut berangkat dari pusat kerajaan Pakuan dan menjelajahi Panyaungan, Parung Sapi, dan menelusuri Sungai Cidurian hingga menemukan lahan yang cocok yang sekarang menjadi kampung Urug kemudian dibuatlah batas pada sebuah batu yang disebut Batu Tapak. Sebelumnya Kampung Urug dinamakan Kampung Guru, Guru dalam terminologi bahasa Sunda berarti digugu dan ditru, harus bisa menjadi panutan. Dalam konteks ini, adalah si pendiri kampung (Prabu Siliwangi) yang jauh sebelumnya sudah menetapkan sebuah lahan untuk perkampungan yang menjadi panutan tersebut. Hanya di sini terdapat dua perbedaan mengenai maksud dibaliknya kata Guru itu, pertama sebagai kamuflase (penyamaran) agar perkampungan subur tersebut tidak diketahui oleh pihak yang tidak diinginkan. Kedua menurut Abah Ukat,tokoh masyarakat kampung adat urug bahwa nama Guru dibalik menjadi Urug, karena dikhawatirkan generasi-generasi berikutnya hanya sekedar menyandang makna Guru tetapi tidak bisa mengamalkan nilai-nilai dibalik kata guru tersebut.



ANALISIS EMPAT JENIS KEARIFAN LOKAL KAMPUNG URUG
1.    Tata Kelola
Jumlah penduduk Kampung Adat Urug tercatat 5.125 jiwa dengan penduduk laki-laki berjumlah 2.875 jiwa dan penduduk perempuannya 2.250 jiwa. Sama seperti masyarakat sunda lainnya, warga Kampung Adat Urug juga mengenal pemerintahan formal. Ketua Adat di sini hanya pemimpin adat atau informal. Warga Urug terbagi ke dalam 8 RW dan 24 RT. Sistem Organisasi Informal atau Adat Masyarakat Kampung Adat Urug terdiri atas Ketua adat yang berjumlah tiga orang; Urug Lebak (Bawah) sebagai pusat dipimpin oleh Abah Ukat, Urug Tengah (Tengah) dipimpin oleh Abah Amat dan Urug Tonggoh (atas) dipimpin oleh Abah Kayod. Ketiga ketua adat ini mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat, dari hasil pengamatan penulis, pembagian kepemimpinan ini hanya untuk mempermudah jalannya adat di sana, contoh dalam acara Seren Taun, karena Kampung Adat Urug yang begitu luas dan warganya yang begitu banyak tidak akan tertampung semua di satu rumah adat, misalnya pada saat prosesi ngariung(berkumpul), dan juga tidak hanya warga Urug yang datang pada saat acara adat ini.
Penggunaan nama Lebak, Tengah dan Tonggoh hanya mengacu pada lokasi rumah ketua adat. jika dilihat dari bentang alam Kampung Adat Urug yang berada di lembah, rumah adat Lebak yang ditempati oleh Abah Ukat berada di bawah sebagai pusat di mana rumah warga yang saling berdekatan “berkiblat” pada rumah adat tersebut.   Regenerasi atau pergantian ketua adat di Kampung Adat Urug khususnya di Urug Lebak sebagai Pancer (Pusat) berdasarkan wangsit atau amanat yang akan diterima oleh ketua adat yang sedang menjabat, yang dipercaya berasal dari leluhur mereka untuk menentukan siapa yang akan menjadi Ketua Adat berikutnya. Para ketua adat ini biasa disebut Abah Kolot, Abah saja atau kokolot.

2.    Sistem Nilai
a)    Ngaji Diri
Ngaji Diri adalah suatu ajaran dasar pembinaan moral yang di dalamnya tercermin pula pengertian koreksi diri. Ajaran tersebut dikembangkan di kalangan warga Kasepuhan sebagai upaya melawan sifat buruk dalam diri manusia, seperti iri dengki. Selain itu ajaran ini bertujuan untuk mencapai kondisi yang tertib, selaras, aman dan tentram dalam diri manusia pada kehidupan sosial di dunia sebagai bekal untuk kehidupan di akherat nanti. Pada Masyarakat Kampung Adat Urug, ajaran ngaji diri atau tapa  manusa tersebut diuraikan lagi sehingga melahirkan beberapa larangan atau anjuran yang disebut talèk (aturan hidup) baik untuk pribadinya sendiri maupun untuk hidup bermasyarakat, meliputi:
·         Mipit kudu amit ngala kudu menta
Larangan untuk mengambil yang bukan haknya ini tergambar dalam ungkapan Mipit kudu amit, Ngala kudu mènta artinya mengambil atau memetik itu harus meminta izin kepada yang mempuyainya, dengan kata lain jangan mencuri. Para ketua Adat di Kampung Urug dan warga umumnya juga mengatakan hal yang sama, bahkan ada istilah jika kita melewati kebun seseorang, tangan itu harus dikepalkan sebagai perlambang jangan memetik tanpa minta izin atau istilahnya adalah Pamali/Larangan.
·         Murah Bacot Murah Congcot
Murah Bacot, artinya senang menyapa orang lain dengan ramah dan sopan santun, sedangkan murah congcot, baik hati suka memberi atau berbagi makanan, congcot atau aseupan adalah alat tradisional untuk menanak nasi berbentuk kerucut yang terbuat dari anyaman berbahan baku bambu, terkadang digunakan sebagai alat mengukus. Congcot di sini melambangkan makanan. Murah bacot murah congcot secara harfiah adalah sikap ramah tamah yang harus ditunjukkan seorang pribumi kepada tamu. Murah congcot berarti si pribumi harus menjamu tamu dengan hidangan yang ada dan menawarkannya karena dikhawatirkan tamu akan sungkan.
·         Guru Ratu Wong Atuo
Karo Guru Ratu Wong Atua karo, bermakna wajib menghormati guru, ratu (pemerintah) dan kedua orang tua, terutama kedua orang tua. Jadi Orang tua itu merupakan Guru dan sekaligus Ratu, kenapa kedua orang tua ditulis di belakang, bukan berati kedua orang tua menjadi yang terakhir dihormat diantara ketiganya, justru harus paling pertama dan utama dihormat, karena tadi, kedua orang tua itu berperan atau mempunyai fungsi sebagai Guru dan Ratu sekaligus.
·         Hidup Mandiri dan Sederhana
Hidup Mandiri dan sederhana disini maksudnya adalah sesuai kalimat ulah hareup teuing bisi tijongklok, ulah tukang teuing bisi tijengkang segala sesuatu (Jangan terlalu depan nanti tersungkur jangan teralalu belakang nanti terlentang). Artinya hidup harus jangan berlebihan dan sesuai proporsinya. Misalnya makan hanya sekedar penghilang lapar, minum sekedar menghilangkan haus dan tidur hanya untuk menghilangkan kantuk, jangan berlebihan, dan jangan pula kekuarangan asal berkecukupan.  
·         Pengendalian Alat Tubuh
Salah satu jalur pamali di kampung Adat Urug yaitu mengendalikan alat tubuh. Alat tubuh atau indera kita jangan sampai disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak baik. Indra kitapun sudah tau haknya masing-masing Sekarang misalnya hidung hanya bisa mencium, sukanya wewangian, telinga hanya bisa mendengar, mata hanya bisa melihat, makan syariatnya hanya dilakukan oleh mulut, lidah yang merasakan, tapi mata, telinga dan hidung tidak pernah protes ingin merasakan makanan yang di makan oleh mulut, karena mereka sadar akan haknya masing-masing. Begitupun manusia harus konsisten dengan tugasnya masing-masing.
b)   Hukum Yang Berlaku
Dalam Masyarakat Kampung Adat Urug berlaku tiga hukum sekaligus, yakni Hukum Kasepuhan/Adat, Hukum Agama Islam, dan Hukum Formal/Negara. Hukum Negara digunakan berkaitan masalah sosial seperti proses jual-beli, hukum agama digunakan untuk masalah peribadatan, sedangkan hukum adat berupa Konsep Ngaji Diri, Budaya Pamali, dan Sikap Gotong Royong.



3.    Tata Cara/Prosedur
a)    Pemukiman
Pola perkampungan masyarakat di kampung Urug umumnya berkelompok padat dan tersebar di muara sungai, persimpangan sungai dan di sepanjang sungai , demikian juga di dataran-dataran yang di depannya ada jalan raya. Rumah-rumah yang ada dikampung Urug umumnya berorientasi menghadap ke sungai yang di hubungkan oleh jalan kecil dan jembatan yang disebut titian. Bentuk rumah panggung masyarakat kampung Urug merupakan ungkapan bentuk rumah karya manusia yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan masyarakat sunda di Jawa Barat. Rumah panggung kampung Urug memiliki keterkaitan dengan konsepsi pembudayaan dan sebagai lingkungan, buatan yang merupakan bagian dari sistem budaya yang mencakup bagian - bagian dari sistem lain, seperti kepribadian dan sosial.
b)   Pertanian
Masyarakat Kampung Adat Urug mayoritas sebagai petani dalam mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Tercatat 4.320 orang bekerja sebagai petani, kepemilikan lahan pertanian di Kampung Adat Urug adalah milik perorangan. Siklus Pertanian di Kampung Urug adalah setahun sekali atau 6-7 bulan sekali dilakukan saat Musim Hujan. Hal ini dikarenakan sistem pertaniannya masih tradisional menggunakan irigasi dan alat-alat tradisional seperti lesung, lelempangan, dan  ketam sebagai alat tadisional memanen padi masih digunkan, di daerah Sunda pada umumnya ketam disebut ètèm (ani-ani).
Yang menarik di sini, Semua kegiatan pertanian mulai dari penanaman hingga panen dilakukan secara serentak dan gotong-royong. Selain itu warga Kampung Adat Urug tidak menjual hasil pertanian mereka, padi sebagai bahan pokok pangan itu hanya untuk keperluan sehari-hari tetapi warga boleh membeli beras dari luar. Hal ini menjadikan hasil panen setahun dapat memenuhi kebutuhan selama dua tahun. Selain bertani waraga Urug tercatat 1.279 orang sebagai pedagang, dalam hal ini mereka yang menjadi pedagang eceran Ikan air laut di daerah Leuwiliang. Sementara lainnya kebanyakkan sebagai penambang emas Liar di Gunung Pongkor, dan mayoritas adalah anak muda.
Cara pertanian yang masih sederhana dan alami tanpa pestisida dan juga musim tanam hanya setahun sekali telah turut melindungi dan melestarikan lingkungan dan mata air. Budaya gotong-royong dalam pembangunan rumah dan pertanian membuat efisiensi pembiayaan. Cara pengolahan padi dan beras yang masih alami dengan ditumbuk dan pola hidup sederhana telah meningkatkan taraf kesehatan masyarakat kampung urug. Persediaan beras yang selalu terpenuhi ditambah penghasilan dari perdagangan apalagi sekarang tambahan pendapatan pariwisata telah turut menyumbang kemajuan dan menyejahterakan warga kampung adat Urug. Uniknya lahan pertanian mencapai dua kali lipat jumlah lahan permukiman.
Tabel Pemanfaatan Lahan Kampung Urug
No.
Pemanfaatan Wilayah
Luas Wilayah (m2)
1
Hutan Keramat
20.000
2
Kompleks Pemakaman
10.000
3
Lahan Pertanian
6.200
4
Lahan Tanah Darat
3.200







 Tabel Mata Pencaharian Penduduk Kampung Urug
No.
Mata Pencaharian
Jiwa
1.
Petani
4.320
2.
Pedagang
1.279
3.
Peternak
6
                                            
Sumber: Monografi Desa Urug 2013


4.    Kawasan Sensitif/Suci dan Bangunan
Kampung Adat Urug tercatat memiliki beberapa kawasan sensitif/suci dan Bangunan, antara lain:
a)    Gedong Gede
Gedong Gede adalah gedung atau bangunan tempat bermusyawarah dan juga menjadi balai pertemuan warga bila ada permasalahan menyangkut adat, pertanian, tempat penerimaan tamu, dan penginapan tamu.
b)   Gedong Paniisan
Berada tepat didepan Gedong Gede, Gedong Paniisan berupa bangunan panggung dengan satu ruangan sebagai tempat berteduh. Tetapi berteduh disini bukanlah untuk warga, melainkan gedung ini untuk bersemedi abah kolot.
c)    Gedong Alit
Merupakan bangunan  kecil berupa makam leluhur masyarakat kampung adat urug, makam ini sering diziarahi warga ketika ada acara atau upacara adat seperti Seren Taun.
d)   Hutan Keramat



UPACARA ADAT KAMPUNG URUG
1)   Muludan
Upacara pertama memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Mulud (Rabi’ul Awal) yang biasa disebut Muludan. Dalam acara ini Ketua Adat bersama warga khusus mengrim do’a untuk Nabi Muhammad karena Sudah berjasa membawa agama Islam. Biasanya dalam acara tersebut dihidangkan makanan-makanan khas daerah dan olahan lauk pauk yang akan dibagikan kepada warga setelah dido’akan.  Alasan diadakannya acara ini menurut Abah Ukat, Nabi Muhammad pada saat berusia 25 tahun dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, akan diberi Kitab Rasul dan Tasauf kemudian harus mengajarkan rukun Islam yang lima perkara di Negara Mekah. Nabi Muhammad patuh, taat dan melaksanakan Kehendak Yang Maha Kuasa, maka selama mengajarkan rukun Islam di negara Mekah tersebut dan seterusnya, Nabi Muhammad akan selalu dikirim “bekal” oleh Yang Maha Kuasa, hakekatnya berupa do’a-do’a dari setiap umat Islam yang melaksanakan acara Muludan tersebut, karena itulah Abah Ukat bersama warga Kampung Adat Urug melaksanakannya sebagai wujud bakti kepada Nabi Muhammad.

2)   Seren Taun
Upacara kedua disebut Seren Taun (Syukuran hasil panen), dilaksanakan   sebagai ungkapan rasa syukur dari para petani di sini yang dipimpin Ketua Adat. Ungkapan rasa syukur, karena ada istilah mipit kudu amit ngala kudu mènta (memetik dan mengambil harus minta izin kepada yang punya), rasa syukur ini ditujukan kepada yang pertama kali telah memberikan bibit pokok dalam masalah pangan kepada manusia, yaitu Yang Maha Kuasa, karen pada hakekatnya bumi tempat tumbuh berbagai macam tanaman yang bermanfaat bagi manusia adalah milik Yang Maha Kuasa, maka ketika akan mengambilnya harus meminta izin kepada yang punya.
3)   Sedekah Rowah
Upacara yang ketiga disebut Sedekah Rowah, dilaksanakan pada bulan Rowah (Sya’ban), tanggal 12. Pagi hari masyarakat membawa ayam minimal satu keluarga satu ekor, disembelih di halaman rumah adat, setelah selesai dimasak, dibawa lagi ke rumah adat, selamatannya dilaksanakan ba’da Dhuhur. Acara ini dan do’a yang dikirim sebagai wujud bakti kepada Nabi Adam Alaihi Salam karena menjadi induk semua umat manusia. Manusia awalnya di akherat, di dunia itu hanya diumbarakeun (dikembarakan) akan kembali ke akherat yang dibawa hanya amal perbuatan baik ataupun buruk yang akan diterima oleh Nu Kagungan (Yang Maha Memiliki). Nabi Adam sebagai induk seluruh umat manusia awalnya di akherat dahulu, karena suatu hal ia diturunkan ke bumi.
4)   Sedekah Bumi
Upacara yang ke empat dinamakan Sedekah Bumi, lewat beberapa bulan setelah selesai bulan Rowah (Sya’ban), Puasa (Ramadhan), Syawal. Acara ini diadakan sebelum menanam padi. Semua warga makan bersama di halaman rumah adat, tapi tidak hanya sebatas foya-foya saja, yang dipanjatkan do’anya sebelum makan bersama tersebut, agar semua warga ketika selama menanam padi mulus rahayu berkah salamet (selamat dan ancar tanpa kendala). Maknanya, Kita Manusia duduk-berdiri dan hidup di Bumi, semua yang kita makan berasal dari Bumi, manusia harus bersyukur kepada Yang memiliki kekuasaan terhadap Bumi.
5)   Seren Pataunan
Upacara yang kelima dan terakhir yang disebut dengan Seren Pataunan Seren Pataunan dilaksanakan dalam rangka menutup tahun Hijriah dan menyambut tahun baru Hijriah, dengan harapan semoga yang dilakukan pada tahun baru itu semuanya semoga diselamatkan dijaga dan diraksa (dihindarkan dari bahaya). Warga membawa nasi kuning dengan lauk-pauknya (daging kerbau) setelah dido;akan (selametan) baru dibagikan kembali. keramaiannya lebih dari Seren Taun, minimal ba’da magrib, sudah ramai, karena bukan abah yang mengundang tapi masyarakat yang datang sendiri”.  Seperti dalam Seren Taun, pada upacara Seren Pataunan banyak kelompok hiburan seperti Jaipongan, wayang Golek bahkan OrgenTunggal ingin “manggung” di Kampung Adat Urug, datang sendiri tanpa dibayar. tapi itu tergantung Abah Ukat, tidak semua kelompok hiburan itu bisa diterima karena halaman rumah adat sudah dirapihkan dengan semen dan batu jadi tidak diboleh dibongkar untuk mendirikan panggung hiburan. Masyarakat yang datang dari mana- mana itu tidak sebatas hanya ingin silaturahmi, ikut syukuran mendapatkan berkat makanan



KESIMPULAN
            Ditengah derasnya perkembangan zaman dan globalisasi ternyata masih ada masyarakat yang memegang teguh Kearifan Lokalnya. Masyarakat Adat Kampung Urug telah membuktikan harmonisasi pengelolaan alam tanpa berlebihan mampu menjaga kelestarian lingkungan dan disisi lain mampu mebuat mereka swasembada pangan. Bila dilihat dari 4 jenis Kearifan Lokal dalam masyarakat adat kampung urug maka dapat terlihat kebudayaan agraris yang kuat dan kepercayaan akan pengelolaan alam yang baik akan membuat mereka berkah dan rasa syukur mereka ungkapkan melalui upacara-upacara adat. Selain itu rasa gotong-royong, budaya pamali, dan ngaji diri membuat masyarakat kampung urug menjadi orang-orang yang berakhlak baik dan hidup sederhana serta saling mengayomi.

 

DAFTAR PUSTAKA


Aidmiharja, K. (1992). Kasepuhan Yang Tumbuh Diatas Luruh: Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisonal Di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung: Tarsito.
Dewantara, A. (2013). Peran Elit Masyarakat: Studi Kebertahanan Adat Istiadat di Kampung Adat Urug Bogor . Al-Turāṡ Vol. XIX No. 1, 89-117.
Halimi. (2013). SKRIPSI KEARIFAN LOKAL DALAM UPAYA KETAHANAN PANGAN DI KAMPUNG ADAT URUG BOGOR. Jakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah.
Prasetyadi, B. S. (2005). KEARIFAN ORANG SUNDA DI KAMPUNG URUG YANG TERPENCIL TlNJAUAN PSIKOLOGI SOSIAL DAN ARSITEKTUR. Proceeding Seminar Nasional PESAT 2005, 220-228.
Rosidi, A. (1984). Manusia Sunda. Jakarta: Inti Idayu Press.
Rosidi, A. (2010). Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.

 
LAMPIRAN
Foto-foto Kampung Adat Urug




Tags:
Kampung Urug, Kearifan Lokal, Bogor

[1] Ahmadi Anjas adalah mahasiswa Kelas IP 5A Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unsika dimana tujuan penulisan  karya tulis ini untuk memenuhi Nilai UTS mata kuliah Kearifan Lokal Pemda Tahun Ajaran 2017/2018 dengan dosen pengampu Ibu Kariena Febriantin, S.IP, M.Ipol.
[2] Ajip Rosidi, Manusia Sunda (Jakarta: Inti Idayu Press, 1984) hal. 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lirik Mars Imigrasi

  MARS IMIGRASI Kami Imigrasi Indonesia Siap Melaksanakan Tugas Pengamanan Negara dan Penegakan Hukum Berbakti pada Masyarakat Berwibaw...